Translate This Blog

Tuesday, October 26, 2010



Thursday, October 21, 2010

Doa untuk mata

Surah Yusuf, 12:93
Pergilah dengan membawa bajuku ini, kemudian letakkan pada muka ayahku supaya ia dapat melihat, dan selepas itu bawalah kepadaku keluarga kamu semuanya".





Surah Qaf (ق), ayat 22
Ertinya: (Serta dikatakan kepadanya): Demi sesungguhnya! Engkau di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai tentang (perkara hari) ini, maka kami hapuskan kelalaian yang menyelubungimu itu, lalu pandanganmu pada hari ini menjadi tajam (dapat menyaksikan dengan jelasnya perkara-perkara hari akhirat). ۝


Wednesday, October 20, 2010

Latar Belakang Munculnya Bid'ah

Tidak diragukan lagi bahawa berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid'ah dan kesesatan ; Allah SWT berfirman.

"Artinya : Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya". [Al-An'am : 153].

Rasulullah SAW telah menjelaskan hal itu dalam suatu hadits yang di riwayatkan sahabat Ibnu Mas'ud RA, berkata : Rasulullah SAW membuat satu garis untuk kita, lalu bersabda : "Ini adalah jalan Allah", kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanannya dan disebelah kirinya, lalu bersabda : "Dan ini adalah beberapa jalan di atas setiap jalan tersebut ada syetan yang senantiasa mengajak (manusia) kepada jalan tersebut".

Maka barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah ; pasti akan selalu terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid'ah.

Jadi latar belakang yang menyebabkan kepada munculnya bid'ah-bid'ah, secara ringkas adalah sebagai berikut :
- bodoh terhadap hukum-hukum Ad-Dien, mengikuti hawa nafsu, ashabiyah terhadap berbagai pendapat dan orang-orang tertentu, menyerupai dan taqlid terhadap orang-orang kafir.

Perinciannya sebagai berikut.

1. Bodoh Terhadap Hukum-hukum Ad-Dien

Semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam : semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya :

"Artinya : Barangsiapa dari kamu sekalian yang masih hidup setelahku, pasti akan melihat banyak perselisihan". [Hadits Riwayat Abdu Daud, At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan shahih].

Dan dalam sabdanya Rasulullah SAW berkata:

"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorang ulamapun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan".

Tidak akan ada yang bisa meluruskan bid'ah kecuali ilmu dan para ulama ; maka apabila ilmu dan para ulama telah hilang terbukalah pintu untuk muncul dan tersebarnya bagi para penganut dan yang melestarikannya.

2. Mengikuti Hawa Nafsu

Barangsiapa yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah pasti dia mengikuti hawa nafsunya, sebagaimana firman Allah :

"Artinya : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun". [Al-Qasas: 50].

Dan Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)". [Al-Jaatsiyah : 23].

Dan bid'ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata hawa nafsu yang diikuti.

3. Ashabiyah Terhadap Pendapat Orang-orang Tertentu.
Ashabiyah terhadap pendapat orang-orang tertentu dapat memisahkan antara dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq.

Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka : 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah'. Mereka menajwab : '(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'. '(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". [Al-Baqarah : 170].

Inilah keadaan orang-orang ashabiyah pada saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila mereka diajak untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Kitab dan As-Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka.

4. Menyerupai Orang-Orang Kafir

Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid'ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abi Waqid Al-Laitsy berkata.

"Kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW menuju Hunain dan kami baru saja masuk Islam (pada waktu itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara) sebagai tempat peristirahatan dan tempat menyimpan senjata-senjata mereka yang disebut dzatu anwath. Kami melewati tempat tersebut, lalu kami berkata :" Ya Rasulullah buatkanlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allahu Akbar! Sungguh ini adalah kebiasaan buruk mereka, dan demi yang jiwaku di tangannya, ucapan kalian itu sebagaimana ucapan Bani Israil kepada Musa 'Alaihi Sallam :

"Artinya : Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)". [Al-A'raf : 138]

Lalu Musa bersabda : "Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu".

Di dalam hadits ini disebutkan bahwa menyerupai orang-orang kafir itulah yang menyebabkan Bani Israil dan sebagian para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menuntut sesuatu yang buruk, yakni agar mereka dibuatkan tuhan-tuhan yang akan mereka sembah dan dimintai berkatnya selain Allah Ta'ala. Hal ini jugalah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid'ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau beberapa minggu (pekan) untuk amalan-amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, melukis gambar-gambar dan patung-patung sebagai pengingat, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka, bid'ah terhadap jenasah, membuat bangunan di atas kuburan dan lain sebagainya.


[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang Harus Dicintai dan Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan hal. 59 - 65, penterjemah Endang Saefuddin]

rujukan : http://www.syifa-alhidayah.com/index_live.asp

Ilmu Dari Mimpi Adalah Tipu Helah Iblis

SOALAN:

Saya telah beberapa kali bermimpi, didatangi oleh seorang lelaki memegang tasbih, berjubah hijau dan memakai serban. Lelaki ini, dalam mimpi yang ketiga, yang berlaku dalam tempoh lebih kurang tiga minggu memberi sepotong ayat untuk diamalkan. Ayat ini pada mulanya tidak dapat saya ingati apabila terjaga, tetapi akhirnya ayat itu dapat saya ingati lalu saya perdengarkan kepada seorang ustaz, di mana ustaz tersebut menyatakan bahawa ayat tersebut adalah benar.

Saya telah mengamalkan ayat tersebut, terutamanya selepas sembahyang fardu, seperti yang diajar dalam mimpi tersebut pada pertemuan yang tidak dapat dijelaskan waktunya. Persoalan saya ialah adakah mimpi saya itu baik, tidak mendatangkan masalah kepada saya, termasuk iktikad saya? Setakat ini saya telah menggunakan ayat-ayat tersebut untuk mengubati orang sakit, dan berjaya. - Salmi, Kota Bharu.

JAWAPAN:

Perlu diperjelaskan bahawa bukan mustahil apa yang berlaku ke atas saudara merupakan satu keistimewaan yang diberi oleh Allah ke atas hamba-Nya yang ikhlas, beriman lagi bertakarub kepada-Nya. Banyak cara Allah s.w.t. apabila Dia hendak menolong hamba-Nya. Allah apabila mahukan sesuatu itu berlaku ke atas hamba-Nya, maka akan terjadilah di mana ia tidak digagahi oleh sesiapa pun.

Walaupun demikian, setiap orang yang beriman itu perlu ditadbir oleh mereka yang berilmu. Kedua-duanya mimpi daripada iblis dan syaitan, dan ketiganya ialah mimpi mainan tidur.

Iblis dan syaitan diberi keistimewaan oleh Allah dapat melihat manusia, namun sebaliknya manusia tidak boleh melihat makhluk ini. Walaupun demikian, dalam keadaan tertentu manusia dapat melihat jin apabila penutup yang menghalang penglihatan manusia itu dibuka oleh Allah iaitu di kalangan mereka yang menuntut ilmu yang berkaitan dengan jin, membela, bersahabat atau bersaudara, mereka yang diganggu oleh jin (gangguan), atau mereka yang menghadapi masalah sihir, juga oleh sesiapa pun di mana hijab yang berlaku selama ini dibuka oleh Allah.

Jin tidak berupaya untuk berkomunikasi secara terus dengan manusia, kerana nature kejadian makhluk ini adalah berbeza. Manusia dijadikan oleh Allah daripada saripati tanah, manakala jin dijadikan Allah daripada api yang sangat panas. Manusia mempunyai jasad, tetapi jin tidak mempunyai jasad kasar seperti manusia. Ini adalah di antara sebab yang menjadi perbincangan atau perbalahan ahli-ahli falsafah kenapa manusia dan makhluk jin ini tidak dapat berhubung secara fizikal.

Walaupun demikian, makhluk halus ini berupaya berhubung dengan manusia ketika tidur melalui mimpi. Makhluk ini berupaya menyakiti manusia ketika hendak terlelap tidur, dengan mendatangkan pelbagai gangguan, menyebabkan seseorang itu berasa seolah-olah dihempap batu besar, ditikam di perut dengan benda tajam, berasa seolah-olah biji mata dipatuk oleh paruh burung yang besar, dicekik dan diselam dalam air menyebabkan orang yang tidur berkenaan tidak bernafas atau sesak nafas, menggigil ketakutan dalam keadaan berpeluh-peluh dan sebagainya.

Ketika sedang tidur makhluk ini boleh datang dalam mimpi, menyerupai binatang hitam yang menakutkan, menggigit, membelit dan sebagainya yang menyebabkan seseorang itu takut hendak tidur, lalu akhirnya jatuh sakit, atau sakitnya menjadi bertambah teruk.

Mengenai kes saudara, makhluk ini mendatangi saudara ketika dalam mimpi, dengan berjubah hijau dan sebagainya seperti yang saudara jelaskan. Jubah adalah lambang seorang yang alim apatah lagi dikaitkan dengan biji-biji tasbih di tangan. Warna hijau pula adalah warna kesukaan Nabi s.a.w. Keadaan seumpama ini adalah semata-mata untuk menarik minat saudara untuk mempercayai bahawa apa yang berlaku itu adalah pertolongan Allah, atau sekurang-kurangnya tidak ada kaitan dengan liku-liku atau helah jin, apatah lagi sekiranya ia berlaku ketika saudara dalam keadaan banyak berzikir, berdoa dan mendirikan sembahyang di keheningan malam.

Makhluk yang menjelma dalam bentuk atau rupa manusia alim ini begitu bijak. Ia tidak akan memberi doa sekali gus membolehkan saudara terus mengingati ayat-ayat yang diberi, tetapi ia akan memberinya sedikit buat permulaannya. Begitu juga yang dilakukan pada ketika yang lain, menyebabkan saudara begitu ghairah untuk mendapatkan doa yang ditayang-tayang dalam beberapa pertemuan mimpi.

Hidayah

Dalam keadaan apa sekalipun, selepas beberapa sesi mimpi yang terlalu mengharap, saudara akhirnya dapat ayat sepenuhnya seperti yang saudara jelaskan, dan didapati benar apabila saudara perdengarkan kepada orang yang faham mengenainya.

Dalam keadaan seperti ini, saudara akan terus-menerus mengamalkan apa yang disarankan oleh lelaki yang menjelma tadi. Dalam pertemuan yang lain, saudara akan dinasihatkan supaya memperbanyakkan lagi sedekah, perbanyakkan puasa Isnin dan Khamis, pergi umrah dan sebagainya. Semuanya ini menyebabkan saudara terus berkeyakinan bahawa apa yang berlaku tidak ada kaitan dengan jin atau jin-jin, tetapi merupakan ``maunah'' Allah, ataupun hidayah Allah, yang tidak diperoleh oleh semua orang.

Perjalanan saudara tidak berakhir begitu sahaja. Mungkin saudara, ataupun orang yang berpengalaman seperti saudara pada satu ketika pergi ke sekolah untuk mengajar seperti biasa. Ketika rehat salah seorang daripada guru perempuan teman saudara dengan tiba-tiba pening kepala lalu pengsan. Oleh kerana saudara dianggap sebagai seorang yang banyak ilmu agamanya, rajin berkata-kata mengenai agama, lalu teman-teman lain meminta jasa baik saudara supaya menolong teman yang sedang pengsan tadi.

Dalam keadaan kelam-kabut saudara rasa terdorong untuk menolong teman tadi, iaitu dengan membacakan doa yang saudara pelajari ketika tidur dan mengamalkan menurut panduan yang diberi dan didapati orang yang tidak sedarkan diri itu sembuh seperti sedia kala.

Terlalu banyak peristiwa seperti ini boleh berlaku yang melibatkan saudara yang akhirnya saudara menjadi seorang ``tok bomoh'', atau lain-lain julukan diberi oleh kawan-kawan, yang semuanya menghela kepada keyakinan diri bahawa saudara berupaya melakukan rawatan kepada pesakit.

Mungkin pada waktu lain, guru yang sama dengan tidak semena-mena pengsan, lalu mengeluarkan suara yang lain daripada suaranya, dan berkata dengan perkataan-perkataan yang tidak disangka-sangka, tetapi ada kebenarannya. Dan apabila saudara datang mendekatinya, membacakan doa yang saudara amalkan dalam segelas air, pesakit menjadi sembuh setelah minum.

Hal yang sama mungkin berlaku ketika saudara balik kampung, atau ke majlis-majlis perkahwinan, di mana pengantin perempuan dengan tidak semena-mena menjerit lalu tidak sedarkan diri. Dalam keadaan panik, dan tercari-cari orang yang pandai mengubat, memulihkan pengantin, saudara akhirnya terdorong untuk merawat pengantin yang pengsan tadi, dan sembuh.

Pada diri saudara, apa yang berlaku memberi keyakinan. Diyakini bahawa apa yang saudara dapat adalah daripada pertolongan Allah, apatah lagi ketika itu saudara selalu melakukan sembahyang di waktu malam, puasa Isnin dan Khamis, banyak bersedekah dan sebagainya, tetapi dari satu sudut lain, apa yang berlaku adalah hasil dari permainan dan tipu helah syaitan.

Guru yang sakit yang pengsan di sekolah, ataupun pengantin yang tidak sedarkan diri meracau ketika bersanding itu berlaku kerana angkara jin yang sama, iaitu perbuatan jin yang datang menjelma dalam mimpi saudara. Iaitu jin yang datang berjubah hijau, memegang tasbih berserban. Setelah memberi doa kepada saudara, lalu perasaan rasa yakin diri itu tersemat dalam diri, jin yang sama datang kepada guru yang ada di sekolah tempat saudara mengajar, lalu mencekik atau menyakitinya, dan meresap dalam tubuhnya. Makhluk jin ini dalam masa yang sama mendorong saudara untuk memulihkannya, lalu saudara berjaya memulihkannya.

Begitu juga yang berlaku ketika pengantin perempuan bersanding di mana masalah yang timbul adalah angkara jin yang sama. Walaupun demikian, apa yang berlaku tidak mudah diketahui atau disedari oleh manusia kerana tindak-tanduk, dan tipu helah jin atau iblis syaitan musuh manusia itu terlalu besar muslihatnya.

Terlalu banyak tipu helah makhluk halus yang menyebabkan seseorang itu sesat, tetapi merasakan dirinya mendapat maunah atau hidayah Allah. Makhluk ini secara tidak langsung mengajar dan membantu manusia melakukan rawatan dengan pelbagai kaedah, termasuk mengajar manusia atau berhubung dengan manusia ketika tidur. Setelah saudara benar-benar yakin, makhluk ini berkemungkinan meresap dalam diri saudara, menyebabkan saudara, ataupun orang yang mempunyai pengalaman seperti ini melakukan rawatan dalam keadaan menurun, di mana makhluk ini menggunakan jasad manusia untuk melakukan rawatan, mencari barang hilang, memberi petua penerang hati dan sebagainya. Fenomena seperti ini hakikatnya banyak berlaku di kalangan mereka yang melibatkan diri dengan ilmu kebatinan hingga sekarang ini tanpa disedari.

Perbicaraan mengenai ilmu yang diperoleh dalam mimpi banyak berlaku. Sukar untuk membezakan antara mereka yang mendapat maunah atau hidayah benar-benar daripada Allah. Biar dalam keadaan apa sekalipun, saya berkeyakinan bahawa kebanyakan mereka yang memperoleh ilmu melalui mimpi hakikatnya adalah daripada tipu helah iblis dan syaitan untuk menyesatkan manusia.


Sedutan dari:

Rencana oleh Dr. Amran Kasimin
Mingguan Malaysia

rujukan : http://www.syifa-alhidayah.com/coretan_list_one.asp?id=64

Thursday, October 7, 2010

Hukum mewarnakan rambut: Part 2

Umat Islam dibenarkan mewarnakan rambutnya. Berikut ini kami terjemahkan fatwa Dr. Yusof al-Qardhawi mengenainya (Al-halal Wal haram Fil Islam, Dr. Yusof al-Qardhawi, hal.89-09):

Sebahagian dari perkara yang tergolong di dalam masalah perhiasan ialah mewarnakan wambut atau janggut yang telah beruban. Telah datang satu riwayat yang menjelaskan bahawa orang-orang Yahudi dan Nasrani enggan mewarna rambut dan mngubahnya dengan beranggapan, antaranya ialah berhias dan memperelok diri itu dapat menghindarkan erti peribadatan dan beragama. Sebagaimana yang dilakukan oleh para rahib dan ahli-ahli zuhud yang bersikap berlebih-lebihan.

Tetapi Rasulullah s.a.w. melarang mengikut (taqlid) kepada suatu kaum dan mengikuti jejak langkah mereka, supaya umat Islam sentiasa mempunyai keperibadian yang berbeza, zahir dan batin. Dan, diriwaytakan oleh Abu Hurairah, bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mahu mewarnakan rambut, oleh itu berbezalah kamu dengan mereka. (HR Bukhari).

Amar (perintah) di sini mengandungi maksud sunat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar. Manakala yang lainnya tidak melakukan (mewarna rambut), seperti Ali, Ubai bin Ka’b dan Anas.

Tetapi, dengan warna apa dibenarkan mewarna rambut? Apakah dengan warna hitam atau warna-warna lain? Atau mesti mengelakkan dengan warna hitam?

Orang yang telah tua, ubannya telah merata semada di kepala ataupun di janggut, tidak selayaknya mearna dengan warna hitam. Oleh itu, ketika Abu Bakar membawa bapanya ABu Qufahah ke hadapan Nabi s.a.w. pada hari penaklukan Mekah, Nabi melihat rambutnya seperti pokok Thughamah yang terlalu putih buah dan bunganya. Nabi bersabda:
“Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam.” (HR Muslim).

Manakala mereka yang tidak sebaya dengan Abu Qufahah, tidaklah berdosa apabila mewarna rambutnya dengan warna hitam. Dalam amsalah ini al-Zuhri telah berkata: “Kami mewarna rambut dengan warna hitam apabila wajah masih kelihatan muda, tetapi apabila wajah sudah berkedut dan gigi sudah goyang, kami tinggalkan warna hitam.” (Fathul Bari)

Segolongan ulamak salaf membenarkan mewarna dengan warna hitam, mereka ialah Saad bin ABi Waqqas, uqbah bin Amir, Hasan, Husain, Jarir dan selainya.

Sebahagian ulamak berpendapat tidak boleh dengan warna hitam kecuali dalam keadaan perang agar dapat menakutkan musu. Kerana mereka akan melihat semua tentera-tentera Islam masih kelihatan muda. (Fathul Bari).

Dan di dalam sebuah hadis riwayat Abu Zar mengatakan:
“Sebaik-baik bahan yang digunakan untuk mewarna uban ialah pokok inai dan katam.” (HR Tarmizi dan ash-habusunan)

Katam adalah satu pokok yang tumbuh di Yaman yang mengeluarkan pewarna berwarna hitam kemerah-merahan. Dan Inai berwarna merah.

Anas bin Malik meriwayatkan, bahawa Abu Bakar mewarna rambutnya dengan inai dan katam, manakala Umar hanya dengan inai sahaja.]

——–

Sekian. Harap menjawab persoalan anda. WA.

al-ahkam

Hukum mewarnakan rambut: Part 1

Oleh: DR. AMRAN KASIMIN
SOALAN: Saya seorang remaja berusia 20-an. Saya mewarnakan rambut, kerana terikut-ikut dengan kawan. Saya merasa keliru tentang hukumnya, kerana terdapat pada pewarna itu tanda logo halal, seperti yang terdapat pada barang-barang keluaran yang dijamin bersih, tetapi sesetengah ustaz pula mengatakan haram.

Soalan saya, apa hukum mewarnakan rambut dengan warna-warna perang dan hitam. Bagaimana dengan mandi hadas bagi mereka yang memakai pewarna rambut. Apa hukum jika tujuan mewarnakan rambut itu untuk menutup uban atau supaya dikata orang usianya masih muda. Jawapan tuan sangat saya hargai. - NOR, Alor Gajah, Melaka.

Jawapan: Soalan tentang hukum mewarnakan rambut perlu dilihat dari pelbagai aspek, seperti tujuan mewarna, jenis-jenis warna dan pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan mewarna serta kesannya kepada diri, keluarga dan masyarakat.

Sehubungan ini ada sebuah hadis berkaitan dengan penjagaan rambut yang diriwayat Abu Dawud daripada Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda yang membawa maksud: Sesiapa yang menyimpan rambut hendaklah ia mengemaskannya. (Miskat, 2/491). Mengemaskan rambut ertinya tidak membiarkannya kusut masai, tidak terurus, berterbangan apabila ditiup angin atau dibiar menjadi sarang tempat kutu membiak dan sebagainya.

Sebaliknya, rambut hendaklah dibersihkan setiap hari, diikat dan disapu minyak, supaya kelihatan sentiasa berseri. Bagi wanita pula hendaklah didandan atau diikat kemas, diwarnakannya jika sudah beruban dan tidak lagi diminati suaminya, tetapi hendaknya tidak dipamer kepada lelaki bukan mahramnya. Bagi wanita yang sudah lanjut usia dan tidak bersuami, tidak perlu lagi berbuat demikian, kerana tiada motif sebenar daripada pewarnaan rambutnya.

Sebahagian ulama melarang perbuatan mewarnakan rambut secara mutlak, seolah-olah warna rambut tidak boleh diubah daripada warna asalnya, namun sejauh yang diperhatikan, dalil-dalil yang dikemukakan bagi pengharaman itu tidak lengkap, atau larangan itu hanya kepada lelaki sahaja, sedangkan wanita dikecualikan, atau larangan dikhaskan kepada wanita tua yang mewarnakan rambutnya, supaya kelihatan muda dan bergaya, lalu diminati lelaki yang tertipu dengan rambut kepala yang kononnya masih hitam.

Saya berpendapat, mewarnakan rambut hukumnya harus bagi wanita yang bersuami, jika tujuannya memperlihatkan kecantikan kepada suaminya sahaja, tetapi hendaklah tidak mempamerkannya kepada umum. Amalan ini boleh dimasukkan di bawah tuntutan penjagaan rambut, sebagaimana dalam hadis di atas.

Selain itu menjaga keharmonian antara suami dan isteri sangat besar tuntutannya. Isteri tidak sia-sia, jika rambutnya yang putih itu tiba-tiba kelihatan hitam di hadapan suaminya. Bagaimanapun, wanita lebih suka memperlihatkan kecantikan dirinya kepada orang lain, bukan kepada suaminya.

Abd. Rahman ibn al-Jawzi (114-1201 M.) berpendapat, lelaki juga harus mewarnakan rambut ubannya dengan apa jua warna, termasuk hitam. Beliau menjawab hadis-hadis yang melarang mewarna rambut itu sebagai khusus kepada mereka yang bermotif untuk memelihara nafsu mudanya, sekalipun usianya sudah cukup tua, sehingga tiada tanda-tanda ingin insaf atau semangat kembali kepada cara hidup yang mengutamakan hari akhirat.

Sehubungan ini juga ada riwayat menyatakan, kaum Yahudi dan Nasara beranggapan mewarnakan rambut itu menjejaskan nilai-nilai agama dan ibadat seseorang manusia, justeru itu, kalangan agama dan paderi-paderi Yahudi dan Nasara tidak mewarnakan rambut mereka. Anggapan ini dikira suatu keterlaluan dalam agama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Baginda Rasulullah s.a.w. melarang umat Islam mencontohi Yahudi dan Nasara, sebaliknya mereka hendaklah menunjukkan cara hidup dan budaya yang berbeza dengan budaya mereka. Dalam konteks ini baginda dalam sebuah hadis riwayat Bukhari daripada Abu Hurairah r.a. bersabda yang bermaksud: Kaum Yahudi dan Nasara tidak mewarnakan rambut mereka. Warnakan rambut kamu supaya tidak menyerupai mereka.

Bagaimanapun, ulama sepakat berpendapat, mewarnakan rambut itu tidak wajib, ia hanya sunat sahaja. Sahabat-sahabat nabi yang arif tentang sunah seperti Ali ibn Abu Talib, Ubayy ibn Ka'b dan Anas ibn Malik tidak mewarnakan rambut mereka.

Saya lebih cenderung kepada pandangan Ibn al-Jawzi yang dinyatakan di atas, iaitu setiap orang harus mengenali dirinya sendiri. Jika mewarnakan rambut itu bertujuan memungkinkan dirinya bersama-sama orang muda dalam gelanggang maksiat dan memuja nafsu, pada hal usianya sudah tiba untuk kembali bertaubat dan sentiasa ke masjid, sebenarnya orang ini masih belum sedarkan diri. Uban pada hakikatnya adalah penanda bahawa usia sudah tua, perjalanan hidupnya mungkin lebih separuh usia telah berlalu.

Soalan selanjutnya, apakah jenis-jenis warna yang dibenarkan? Adakah meliputi semua warna seperti hitam dan perang atau warna-warna tertentu sahaja. Ulama berpendapat, orang tua yang rambut kepala dan janggutnya sudah beruban putih, tidak wajar lagi memilih warna hitam, kerana warna ini hanya sesuai bagi orang muda. Jika berminat, pilihlah inai bagi mewarnakannya.

Keharusan bagi orang tua, sesuai dengan sebuah hadis yang menyatakan, tetakala Abu Quhafah, iaitu bapa Abu Bakar al-Siddiq dibawa kepada nabi s.a.w. pada hari pembebasan Mekah, apabila baginda melihat rambut kepala dan janggutnya beruban putih, lalu bersabda: Warnakan rambut dan janggutnya, tetapi jangan pilih warna hitam. (Muslim: bilangan 2102). Warna hitam dilarang, kerana Abu Quhafah adalah seorang tua yang tidak lagi sesuai dengan warna itu.

Hadis ini menurut sesetengah ulama bermaksud, jika orang muda ditumbuhi uban pada kepala dan janggutnya, sedangkan ia masih pada usia yang biasanya belum lagi beruban, maka harus baginya mewarnakan rambut kepala dan janggutnya dengan apa jua warna termasuk hitam, lebih-lebih lagi jika jiwanya merasa keberatan menerima kenyataan bahawa ia beruban pada usia itu.

Hukum ini samalah dengan seorang yang cacat anggota, ia sangat malu dengan kecacatannya, maka Islam mengharuskannya memperbaiki kecacatan itu, supaya hidupnya lebih tenteram, perasaannya lebih tenang, kerana Allah tidak memberati seseorang, kecuali setakat termampu olehnya.

Sehubungan ini Imam ibn Syiba al-Zuhri menyatakan: Kami berpendapat harus memilih warna hitam, jika kulit muka seseorang itu masih belum berkedut, giginya masih belum goyang, maksud beliau ialah waktu umurnya masih muda. Antara sahabat yang berpendapat harus memilih warna hitam ialah, Sa'd ibn Abu Waqqas, Uqbah ibn' Amir, al-Hasan dan al-Husain, Jarir dan lain-lain.

Sebahagian ulama termasuk Imam Syafi'i berpendapat haram menghitamkan rambut uban, kecuali bagi tentera ketika perang. Tujuannya supaya musuh berasa takut dan keliru dengan usianya yang masih muda. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Zarr al-Ghifari r.a. katanya: Sabda nabi s.a.w. yang bermaksud: Sebaik-baik pewarna bagi warnakan uban kamu ialah inai dan katam. Katam ialah pewarna yang diambil daripada sejenis pokok (Tirmizi: 1753. Abu Dawud: 4205). Hadis ini difahamkan warna inai hendaklah menjadi pilihan mereka yang ingin mewarnakan rambutnya.

Melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam hari ini, kalangan muda mudi Islam ada yang mewarnakan rambut mereka dengan warna perang, kerana meniru atau terpengaruh dengan orang Barat yang perang warna rambutnya. Sebahagiannya pula mewarna-warnikan rambut, kerana mengamalkan budaya punk kononnya. Fenomena ini tidak wujud pada zaman awal Islam, terutama ketika orang Barat belum dianggap sebagai bangsa yang maju di dunia.

Hukum Islam jelas dalam hal ini, iaitu melarang umatnya meniru dan menyerupai budaya dan cara hidup orang kafir. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: Sesiapa menyerupai sesuatu kaum, maka ia tergolong dalam kumpulan mereka. Tidak syak lagi, meniru budaya asing secara membuta tuli, tanpa memikirkan faedahnya, adalah suatu amalan yang salah dan membuktikan pendewaannya kepada bangsa yang dicontohinya.

Berbalik kepada soalan tentang bahan pewarna yang bertanda logo halal yang biasanya menunjukkan bahan itu bersih dan halal diguna. Saya kurang pasti sama ada pewarna itu untuk mewarna makanan dan minuman atau untuk mewarna rambut. Sepanjang pengetahuan saya, logo halal biasanya diletak pada makanan dan minuman sahaja. Barang-barang lain seperti pakaian dan alat-alat solek tidak diletakkan tanda itu.

Kita di sini berbincang soal halal haram bukan pada makanan, kerana makanan bergantung kepada sama ada suci atau najis sesuatu bahan yang hendak dimakan, sedangkan hukum mewarna rambut tidak kena-mengena dengan sama ada suci atau najis bahan itu, tetapi pada dalil, tujuan dan motif pewarnaan itu dilakukan.

Untuk pengetahuan puan yang bertanya juga, hukum mewarna rambut ini tiada kena-mengena dengan hukum mandi hadas dan wuduk kerana hukum mandi hadas dan wuduk ialah wajib meratakan air pada anggota badan yang wajib dibasuh. Jika bahan yang diguna bagi mewarnakan rambut itu menghalang sampainya air kepada anggota yang dibasuh maka hendaklah dibuang terlebih dahulu bahan itu, terutama sebelum wuduk dan mandi hadas.

Ini bermakna bukan semua pewarna menghalang sampai air, puan dengan mudah sahaja dapat membezakan antara pewarna yang menghalang dan tidak menghalang sampai air. Bahan-bahan seperti kunyit tidak menghalang, tetapi bahan seperti cat dan cecair getah tentunya melekat dan menghalang. Seseorang yang ingin mandi hadas atau berwuduk, hendaklah mempastikan diri atau anggota wuduknya bersih daripada bahan-bahan seperti cat dan getah terlebih dahulu.

Rujukan: http://skypin.tripod.com/agama/agama17.html